LAMONGAN – Dunia pendidikan bahasa Inggris di Indonesia diguncang paradigma radikal dalam sebuah kuliah tamu yang mengkritik keras praktik pengajaran yang dianggap terjebak dalam “kolonialisme akademik”. Dr. (Cand) Syihabul Irfan, S.Pd., M.Hum., menyatakan bahwa krisis identitas melanda pengajaran Bahasa Inggris di tanah air, di mana bahasa global ini diajarkan sebagai tujuan akhir, bukan sebagai alat strategis untuk mempromosikan kekayaan budaya bangsa.
Acara bertajuk Contextualizing English Language Teaching in Indonesia: Local Wisdom Meets Global Perspectives yang digelar Prodi Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Universitas Islam Lamongan (UNISLA) pada Kamis (27/11/2025) itu bukan sekadar diskusi, melainkan seruan untuk revolusi total kurikulum. Dr. Irfan menegaskan bahwa obsesi mengejar ‘kelancaran ala penutur asli’ sambil mengabaikan konteks lokal telah menciptakan generasi yang fasih berbahasa asing tetapi bisu dalam mempromosikan identitasnya sendiri.
“Saatnya kita balikkan paradigma. Bahasa Inggris harus menjadi ‘Jembatan Epistemik’, sebuah alat untuk mengkomunikasikan kearifan lokal Indonesia, menciptakan istilah baru yang merepresentasikan konsep unik Nusantara, dan melakukan negosiasi makna dalam percakapan global,” paparnya di hadapan ratusan calon guru dan akademisi di Aula Pascasarjana UNISLA.
Presentasi Dr. Irfan justru berangkat dari peta krisis global—seperti kerawanan pangan dan perubahan iklim—lalu secara mengejutkan menawarkan solusi dari halaman rumah Indonesia sendiri. Ia menegaskan bahwa jawaban untuk krisis dunia justru ada dalam praktik-praktik berkelanjutan yang sudah teruji ratusan tahun, seperti Sistem Subak Bali yang berbasis spiritual dan komunitas, praktik Sasi Laut Maluku yang memulihkan ekosistem perairan, dan kecanggihan hidrologi masa Majapahit.
“Bayangkan jika setiap calon guru mampu menjelaskan keunggulan sistem irigasi Subak dalam Bahasa Inggris yang argumentatif kepada forum internasional. Itulah kekuatan yang selama ini kita lepaskan,” serunya.
Tantangan visioner ini langsung diterjemahkan menjadi strategi praktis untuk mengguncang ruang kuliah. PBI UNISLA didorong untuk segera mengadopsi pendekatan pengajaran yang integratif, seperti mengajar tata bahasa melalui topik ekologi dan sejarah Nusantara, melatih mahasiswa menulis esai opini atau policy brief berbahasa Inggris untuk advokasi pelestarian budaya, serta menugaskan mereka membuat kampanye nyata berupa video dokumenter atau proposal konferensi internasional.
Kuliah tamu ini ditutup dengan misi transformatif yang menggugah. Dr. Irfan menyerukan peran baru yang lebih mulia bagi para pendidik Bahasa Inggris. “Anda adalah duta besar kearifan Indonesia di panggung global. Masa depan tidak dimenangkan oleh yang paling lantang, tetapi oleh yang paling bijak. Kita sudah punya kebijaksanaan itu. Sekarang, bekali diri dengan kemampuan untuk membawakannya ke dunia,” tutupnya.

Gelora respons positif langsung terasa dari para peserta. Banyak mahasiswa yang menyadari bahwa selama ini mereka belajar Bahasa Inggris dengan mindset untuk ‘keluar’ dari Indonesia, padahal seharusnya justru untuk ‘memperkenalkan’ Indonesia ke dunia. Dengan langkah berani ini, UNISLA melalui PBI-nya tampaknya tidak lagi sekadar mencetak pengajar bahasa, tetapi sedang mempersiapkan generasi baru negosiator budaya yang akan membawa solusi lokal Indonesia untuk menjawab tantangan global. AF

