Strukturalisme Profetik Memandang Bencana Sumatra Barat

Oleh: Akhmad Fatoni

Banjir bandang dan tanah longsor yang kembali melanda sejumlah wilayah di Sumatra bukanlah sekadar peristiwa alam yang terisolasi. Di balik tampilan fisiknya, bencana adalah cermin dari struktur sosial, ekonomi, dan politik yang menghasilkan kerentanan. Pendekatan penanggulangan yang hanya bersifat teknis dan reaktif, kondisi yang kerap kita temui bila ada bencana seperti fokus pada logistik, tenda darurat, dan bantuan pangan. Hal itu tidak hanya dari pemerintah, tetapi relawan dan masyarakat tergerak dengan sendirinya, namun hal itu seringkali gagal menyentuh akar persoalan, sehingga pola yang sama berulang di musim penghujan berikutnya.

Di sinilah Strukturalisme Profetik menawarkan perspektif yang lebih dalam dan transformatif. Dengan mengintegrasikan analisis struktural Pierre Bourdieu dan nilai-nilai profetik Kuntowijoyo, teori ini tidak hanya bertanya “apa yang terjadi” tetapi juga “mengapa ini terjadi” dan “untuk cita-cita keadilan apa kita harus bertindak”. Melalui trilogi Amil-Amal-Amul, kita dapat membangun sebuah kerangka kerja reflektif untuk membaca bencana dan mendesain respons yang berkeadilan.

Membaca Bencana dengan Lensa yang Berbeda

Respons konvensional terhadap bencana seringkali melihat aktor hanya sebagai “responden” dan tindakan hanya sebagai “bantuan”. Strukturalisme Profetik memperluas pandangan ini. Amil bukan sekadar petugas atau relawan, tetapi agen etis yang diharapkan memiliki kesadaran ganda: kemampuan membaca peta ketimpangan yang membuat suatu komunitas rentan (analisis struktural), dan komitmen untuk membela kaum yang paling terdampak (nilai profetik).

Amal kemudian bukanlah sekadar aktivitas menolong, tetapi tindakan transformatif yang dirancang untuk mengatasi akar kerentanan. Perbedaannya terletak pada orientasi: apakah tindakan itu memperkuat ketergantungan atau membangun kedaulatan? Sedangkan Amul adalah dampak yang dituju, yang melampaui pemulihan fisik. Amul adalah terwujudnya tatanan sosial-ekologis yang lebih tangguh dan adil pasca-bencana, sebuah bentuk transendensi di tingkat masyarakat.

Tentunya, konsep ini agar tetap terjaga dan tidak terjadi pergeseran paradigma ini, bagan berikut menggambarkan bagaimana trilogi profetik mentransformasi setiap tahap dalam siklus penanggulangan bencana:

Bagan Strukturalisme Profetik Memandang Bencana Sumatra

Penerapan dalam Lanskap Bencana Sumatra

Dalam konteks banjir bandang di sebuah kabupaten di Sumatra Barat, penerapan kerangka ini akan terlihat nyata. Pertama, identifikasi Amil akan meluas. Di samping BPBD dan TNI, Amil kunci justru adalah para peneliti yang memetakan degradasi hutan di hulu, aktivis LSM yang mendampingi masyarakat adat yang lahannya dirambah, serta jurnalis yang melaporkan soal lemahnya penegakan aturan tata ruang. Mereka adalah agen yang memahami “struktur” di balik bencana.

Kedua, desain Amal akan berevolusi. Di tenda darurat, selain dapur umum, ada posko pendampingan hukum untuk memastikan hak-hak korban, terutama kelompok rentan seperti perempuan dan penyandang disabilitas, tidak terabaikan. Pada fase rehabilitasi, Amal yang dilakukan bukan hanya membersihkan lumpur, melainkan harus memulai kampanye moratorium izin usaha di kawasan lindung serta program reboisasi partisipatif yang melibatkan korban sebagai pekerja sekaligus penerima manfaat. Ini adalah tindakan yang langsung menantang struktur penyebab bencana.

Ketiga, Amul yang diperjuangkan adalah perubahan sistemik. Targetnya bukan sekadar “normalisasi sungai”, tetapi pengesahan Perda Tata Ruang berbasis kajian risiko partisipatif yang melibatkan suara korban. Amul juga berupa bangkitnya kesadaran kolektif bahwa kemakmuran tidak boleh dibangun dengan mengorbankan kelestarian alam. Bencana menjadi momentum untuk melakukan transendensi pola pikir, dari melihat alam sebagai objek eksploitasi menjadi mitra yang harus dijaga keselarasannya.

Gelondongan Kayu Sebagai Bukti Kebocoran Ekologi (Sumber: Jawa Pos)

Menuju Paradigma yang Memanusiakan dan Membebaskan

Strukturalisme Profetik mengajak kita untuk meninggalkan pandangan yang memisahkan antara “bencana alam” dan “krisis sosial”. Teori ini menegaskan bahwa respons terbaik terhadap bencana adalah respons yang secara bersamaan memulihkan martabat korban, membongkar ketidakadilan yang mendasarinya, dan membangun visi bersama tentang hidup yang lebih harmonis.

Dalam konteks Sumatra yang kaya namun rentan, pendekatan ini bukan hanya relevan, melainkan penting. Ia menawarkan peta jalan untuk keluar dari siklus respons darurat yang berulang, menuju transformasi sosial yang berkelanjutan. Dengan demikian, teori yang lahir dari dialektika filsafat Indonesia ini membuktikan ketajamannya sebagai alat analisis dan kerangka aksi untuk persoalan nyata bangsa, menunjukkan bahwa filsafat yang kuat adalah filsafat yang berpijak pada tanahnya sendiri dan berani menjawab tantangan zamannya.*

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *